Seperti biasanya aku menunggu
Tian di depan rumah untuk berangkat bersama. Sudah hampir jam masuk sekolah
Tian tidak muncul dari pintu rumahnya. Hari itu aku bawakan makanan kesukaan
Tian, sebenarnya bukan kesukaan juga karena Tian emang doyan makan apa saja.
aku sama Tian sama kami suka makan , dulu waktu SD pernah kami menghabiskan
uang saku hanya untuk makan mie ayam di dekat sekolah. Tian bilang mie-nya enak
apalagi campuran kuahnya yang gurih. Aku sebal kami sama-sama makan banyak tapi
cuma aku yang bertambah berat badannya. Akhirnya aku berangkat sendiri karena
sudah menjelang masuk sekolah.
Sesampainya di sekolah aku
melihat sepeda Tian sudah terparkir di parkiran. Betapa jengkelnya aku yang
sudah menunggunya sedari tadi ternyata orangnya sudah berada di kelaas. Aku
memasuki kelas yang sedang ramai sorakan anak-anak di lapangan. Aku bertanya
kepada Pika apa yang sedang mereka soraki sampai lupa kalau sudah bel masuk
kelas. Pika bilang Tian sedang bertanding sama kakak kelas yang merebutkan
Dinda anak kelas sebelah. Aku tidak tahu siapa Dinda sampai Pika menjelaskan
kalau dia Bunga sekolahan yang dikagumi banyak cowok-cowok. Sebenarnya bukan
itu yang aku butuh dengar tetapi kenapa Tian ikut-ikutan merebutkan cewek itu.
Tidak lama kemudian Tian masuk kelas dengan keringat di seluruh wajah dan
badannya juga.
Baru kali ini aku melihat Tian
terlihat geram penuh amarah di wajahnya. Sejujurnya aku ingin bertanya padanya
bukan hanya apa yang barusan dia lakukan tetapi kenapa dia ga bilang kalau mau
berangkat duluan. Tetapi aku urungkan niatku untuk bertanya melihat tatapan
sinisnya dan seluruh badannya sudah kayak mau terbakar aja.
“Tiaan…tadi kenap….” Ucapku yang
belum selesai sudah ditinggalkan Tian keluar kelas. Kemudian Pika mengajakku
pergi ke kantin untuk makan. Makanan yang tadinya aku mau berikan kepada Tian
gantinya aku makan sendiri dan kubagi dengan Pika.
“kenapa kamu tadi telat??” tanya Pika
sambil makan roti seribuan kesukaannya
“emang biasanya aku ga telat?”
tanyaku balik
“iya juga sih yaaa…. Kamu tau ga
kayaknya Tian sama Dinda ada sesuatu deh” kata Pika sambil berbisik-bisik takut
orang lain ketahuan. Setelah pertandingan yang katanya perebutan Bunga sekolah
si Dinda aku jadi jarang ketemu sama Tian. Di sekolah pun dia jadi semakin
mengacuhkanku padahal aku ingin bertanya apa yang terjadi antara dia dan Dinda
misalnya.
Aku dengar dari Pika kalau Tian
dan Adam sama-sama suka sama Dinda. Kalian tahu kuping Pika sudah kayak di
setiap sudut sekolah berita apa saja pasti dia tahu. Tetapi Pika ga sadar apa
ya kalau Dani suka sama dia. Dani itu sekelas sama Adam, aku tahu Dani suka
sama Pika secara ga sengaja. Waktu itu aku pergi ke perpus trus diam-diam aku
melihat Dani lihatin Pika yang mana Dani bawa bungkusan manis di tangannya.
Setelah ketahuan Dani bilang kalau sudah suka sama Pika sejak SMP. Aku bisa
lihat sih kalau mereka deket tapi yaa dasar Pika aja yang peka sama orang yang
suka sama dia. Rencananya minggu ini aku sama Pika plus Dani karena aku paksain
datang mau pergi bertiga. Tetapi karena aku pinter aku pura-pura batalin, nah
berhubung mereka sudah beli tiket mau gamau mereka harus pergi nonton.
“kamu mau kemana? Bukannya sudah
batalin janji pergi sama temanmu tadi” tanya Mama yang melihatku keluar kamar
dengan pakaian rapi
“pergi aja Ma, bosen di rumah
mulu! mau ke toko buku, cari komik terbaru” kataku sambil nyelonong pergi.
Tadinya aku mau menonton drama seharian tapi aku lupa kalau komik favoritku
rilis hari ini. Di perjalanan aku sambil memikirkan bagaimana kencan Pika sama
Dani sekarang. Mungkin Pika sih baik-baik saja tapi gatau deh gimana
keringatannya Dani disamping Pika sekarang. Karena keasyikan melamunin mereka
ga sengaja aku terpeleset dan jatuh dari sepeda. Semua orang yang lewat
memandangiku tanpa memberi bantuan, mereka pikir aku ini tontonan gratis kali
ya.
“kamu gapapa?” tanya seseorang
yang aku kenal suaranya yang berdiri disampingku lalu duduk jongkok melihat
kakiku yang terluka. Siapa lagi kalau bukan Tian, aku gatau bagaimana ceritanya
dia bisa sampai disini lalu melihatku yang terkapar di pinggir jalan
“kamu darimana?” tanyaku yang
sambil memandanginya yang sedang mengobati kakiku yang terluka tetapi dia hanya
diam saja tanpa menjawab pertanyaanku
“tadi tuh aku lagi melamunin Pika
sama Dani yang lagi kencan, eeh kamu tahu ga kalau Dani tuh aslinya suka sama Pika
tetapi Pika aja yang ga perasaaan. Untungnya aku pinter jadi aku temuin mereka
untuk kencan bareng,,,trus aku sengaja boong sakit perut biar mereka bisa
nonton bareng hahhaha” kataku yang tanpa henti namun Tian hanya bermuka datar
mendengar ceritaku
“berhenti…….”kataku menjadi
dingin padanya
“aku bisa jalan, aku mau pulang”
lanjutku
“aku anterin, kakimu masih sakit”
ucap Tian yang melihatku berjalan sempoyongan. Selama di perjalanan pulan pun
Tian hanya banyak diam tidak mengatakan apapun. Padahal seharusnya dia
mengatakan sesuatu yang aku harusnya tahu.
“apa ada sesuatu yang ingin kamu
katakana?” tanyaku padanya sebelum membuka pintu rumah namun dia hanya
menggelengkan kepalanya kemudian membuka pintu rumahnya
“Tiaan…aku gatau apa yang kamu
pikirkan tapi kalau ada sesuatu kamu bisa cerita sama aku” kataku sebelum Tian
memasuki rumahnya
“aku tahu setelah sekian lama
kita baru bertemu sekarang akan terasa aneh kalau langsung cerita tapi…kamu
lihat kan aku bisa cerita apa saja sama kamu…itupun kalau kamu ga keberatan”
jelasku yang yang ditangapi diam sama Tian
Mungkin beberapa orang akan
berpikir kalau aku terlalu memaksakan diriku berteman dengan Tian. Memang
begitu Tian susah bagi orang lain untuk memasuki kehidupannya, sejak kecilpun
dia seperti itu. Sebenarnya hanya butuh bersabar menghadapi Tian karena
sesungguhnya Tian sangatlah peduli sama orang. Makanya aku sempat terkejut
kalau Adam bisa dekat dengan Tian namun aku senang mendengarnya. Pernah dulu ketika SD, Tian bertengkar hebat
hanya karena seseorang menyebutku preman. Tian tidak terima mereka mengejekku
lalu membalas dengan adu pukul sama mereka. Padahal bisa dibilang ketika SD
cuma aku yang betah temenan sama dia. Tian memang susah diajak bicara apalagi
harus bermain hal-hal yang lumrah bagi seusianya tapi kekanak-kanakan baginya.
“tapi kakiku mash sakit
maaaaa….aku izin deh hari ini…” keluhku yang dipaksa pergi ke sekolah.
Sebenarnya aku hanya mencari alasan saja supaya tidak masuk sekolah. Tetapi
siapa yang berani melawan Mama bahkan Papa-pun tidak berani. Aku pun keluar
rumah dengan menggerutu karena dipaksa pergi sekolah. Setelah membuka pintu aku
melihat Tian yang sudah menungguku di depan rumah.
“mau berangkat bareng?” katanya
yang melihatku keluar dari rumah, aku bahkan tidak bisa mengatakan apa-apa
karena terkejut
“kalau gamau yaudah” katanya yang
kemudian beranjak pergi
“eeeeeh….mau” kataku mencegahnya
yang akan pergi. Sepanjang perjalanan aku tidak berani mengatakan apa-apa
karena percuma juga kalau bicara dia hanya akan diam saja. Tetapi tidak
kusangka kalau dia yang memulai pembicaraan.
“Adam satu-satunya teman yang aku
punya setelah kamu pergi ke Surabaya”
“kemarin dia bilang kalau suka
sama Dinda”
“aku tidak mempermasalahkannya
tetapi Dinda bilang suka sama aku dan aku bilang sama Adam”
“….dan sepertinya dia sedikit
kecewa lalu menantangku bermain basket” ucapnya yang begitu panjang, mungkin
itu adalah kalimat terpanjang yang pernah dia katakan padaku selama ini.
“jadi ini pertengkaran antara
kekasih?” kataku yang membuat dia mengulangin perntanyaanku dengan bingung
“yaaah,,,kamu dan Adam! Kalian
temenan dan merebutkan satu cewek yang sama” kataku yang membuatnya
menyunggingkan senyumannya
“mungkin lebih tepatanya mereka
yang merebutkanku” ucap Tian dengan sombongnya. Tian bilang kalau sebenarnya
dia tidak masalah Dinda suka padanya atau Adam suka sama Dinda. Tian hanya
tidak bisa persahabatannya akan digerus waktu karena seorang cewek. Kalian lihat, begitulah Tian aslinya. Dia
sangat peduli sama orang yang memang benar-benar penting baginya. Tian hanya
tidak bisa mengatakannya dengan bahasa yang baik seperti yang orang lain
harapkan.
“Yue….kamu masih ingat apa yang
kamu katakana ketika akan pindah ke Surabaya?” tanya Tia yang aku tidak
menjawab pertanyaannya. Aku pun bilang kalau aku lupa mengatakan apa waktu itu.
“aku tidak akan melupakanmu?? Aku
akan segera balik lagi??” itu kalimat yang bisa aku tebak tetapi Tian hanya
menggelengkan kepalanya
“lalu apa yang aku bilang waktu
itu??” tanyaku memaksa Tian untuk mengatakannya
menggoyangkan
sepedanya hingga kami hampir terjatuh. Aku tidak tahu itu benar-benar aku katakan
atau tidak yang jelas aku senang melihat Tian tertawa setelah mengatakannya.
Hari ini pertama kalinya Tian memanggil namaku setelah beberapa bulan aku
pindah ke Jogja. Selama setahun aku di Jogja dan sekelas dengan Tian, tidak
banyak yang berubah darinya. Masih sama dinginnya, masik cueknya dan masih
tetap ganteng. Soal Dinda?? Entahlah aku tidak pernah menanyakan lagi tentang
Dinda padanya yang aku yakini persahabatanya dengan Adam masih baik-baik saja.
Aku memang tidak terlalu dekat dengan Adam selain dia beda kelas Tian juga
tidak mengenalkanku secara pribadi padanya. Katanya aku tidak perlu teman
seperti Adam jadi aku tidak perlu dekat dengannya hahahaha.
No comments:
Post a Comment